Archive for March, 2021

Minum Sampai Mati

Ini adalah copy dari tulisan di Note FB, yang karena kebijakan Facebook, Note itu tidak bisa dilihat lagi. Karena info tentang tanggal Note itu ditulis sudah tidak ada lagi, dari info komentar yang masih ada, Note ini saya tulis sekitar 10 tahun yang lalu
===

Ketika seorang teman mengabarkan kepadaku bahwa di Salatiga ada beberapa orang yang meninggal karena minum minuman oplosan, aku sudah membaca beritanya di media massa. Sudah sering aku mendengar adanya korban-korban minuman oplosan, jadi aku tidak kaget dengan berita/kejadian itu.

Ketika temanku meminta pendapatku soal kematian itu, sulit aku menjawabnya, tapi akhirnya aku berkata,

“ya biar saja, mereka mati karena pilihannya sendiri”

. Bagiku kematian adalah hal yang biasa, bahkan sangat biasa. Aku tidak kaget mendengar berita kematian. Beberapa waktu yang lalu, dikabarkan kepadaku bahwa seorang yang aku kenal masuk UGD, dengan kondisi sudah sangat kritis, aku berkata,

“ya tinggal tunggu matinya saja tow…”

, dan ketika beberapa jam kemudian, berita kematian datang, seseorang berkata kepadaku,

“kamu itu kalau ngomong…”

. Beberapa tahun yang lalu, ketika seorang kerabat yang sudah tua, berada di rumah sakit, karena sakit “tua”, meminta macam-macam, (dan termasuk aku ikut kebagian ‘sibuk’), aku berkata dalam hati,

“sudah mau mati saja mintanya macam-macam”

, dan ketika dua hari kemudian orang ini mati, aku tidak kaget.

Kalau ada teman yang tampak kaget mendengar berita kematian seseorang dan bilang, “lho kemarin aku masih ketemu dia, masih tampak sehat!”, biasanya aku akan berkomentar, “ya, memang kemarin masih sehat, dulu malah tidak ada, karena belum lahir, tapi sekarang memang mati, apa anehnya?, aneh kalau dulu pernah mati, sekarang hidup dan sehat!”

Oh ya, dulu aku juga yang menunggui ketika nenekku hampir meninggal dunia. Beberapa saat sebelum beliau meninggal, aku sempatkan membuka matanya (yang sudah tertutup), aku ingin tahu adakah bayangan diriku atau tidak, karena katanya, orang kalau sudah mau mati, di matanya tidak ada bayangan apapun. Ketika aku tidak mendapati bayangan diriku, aku tutup mata nenekku, dan aku keluar dari kamar pembaringannya, memberitahu kerabatku yang ada di luar kamar, bahwa di mata nenek sudah tidak ada bayangannya. Eh.. sesaat kemudian kami masuk kamar, nenekku sudah meninggal. Ya… lewat…., aku tidak menyaksikan meninggalnya nenekku, tapi aku orang terakhir yang bersamanya.

Ketika aku sampaikan kabar kematian nenekku ke kerabat-kerabat yang lain, seperti biasa, beberapa orang menangis. Aku hanya merenung, itu nangis beneran atau pura-pura sedih? Bukankah nenekku sudah hampir dua minggu terbaring di tempat tidur, tidak mau makan, kaki sudah dingin dan satu kakinya tertekuk kaku, tidak bisa diluruskan, tapi tidak mati-mati? Nampaknya nenekku pasang “susuk” ketika masih muda, sehingga sulit mati. Dan setelah kami menyadari kemungkinan sulit matinya nenekku karena “susuk” itu, di suatu malam kami berdoa, selesai berdoa, kami bisa meluruskan kaki nenek, dan besok siang-nya, nenekku meninggal dunia. — tahu gitu, 2 minggu sebelumnya kami berdoa, jadi nggak perlu nunggu lama-lama, hahaha..— [Aku ikut merawat nenek ketika beliau sudah sakit-sakitan. Aku pernah menyuapinya makan, aku juga pernah membopong dan menungguinya ketika beliau buang air, aku sering menemaninya di tempat berbaringnya. Aku juga masih ingat, ketika kakiku kena parang, saat bersama nenekku memotong kayu di kebun yang kini diwariskan untukku, aku masih ingat ketika nenekku pernah menyajikan makan siang untukku di piring tanah liat (cobek). Aku juga masih ingat ketika adikku bermain senapan angin, tanpa diduga, ternyata masih ada peluru didalamnya, dan tanpa sengaja menembak hingga pecah kaca pintu rumah nenekku. Tidak banyak yang aku pelajari dari kehidupan nenekku, tetapi aku harus mengakui, bahwa melalui beliau juga, aku dapat hadir di dunia ini, betapapun sederhananya kehidupannya saat itu.]

Pernah aku menyaksikan seseorang yang sedang mengalami “sakaratul maut” di jalan raya, tepat di depan mobil yang aku tumpangi (kebetulan aku duduk di depan). Orang ini jatuh dari sepeda motor, setelah menabrak mobil lain, tepat di depan mobil kami. Sayang saat itu aku tidak menyaksikan “sampai selesai”, karena sopir kami tidak mau lama-lama berada di tempat kecelakaan. Ya, saat itu aku hanya tahu, bahwa orang mau mati itu (ternyata) seperti orang epilepsi yang sedang kumat, kejet-kejet.

Aku jadi ingat pertanyaan temanku suatu ketika, “kalau ada orang sudah kritis, secara medis sudah sangat kecil kemungkinan bertahan hidup, apakah perlu didoakan supaya sembuh?” Jawabku, “doakan saja agar cepat mati.” Bukan aku tidak menghargai hidup dan kehidupan, tapi bagiku, manusia memang harus siap mati kapanpun. Siap dipanggilNYA kapanpun, bahkan mungkin belum dipanggilNYA-pun kadang harus siap menghadap.

Ketika seorang teman mengabarkan kepadaku, seseorang yang aku kenal meninggal dunia, dengan menulis di layar chatting: “Mas…. si XXX sudah pulang ke rumah Bapa”. Aku jawab chatting itu: “Apa dia tahu jalan pulangnya?”, dan chatting-pun berlanjut sampai pada pertanyaan saya, “apakah dia dipanggil menghadap, atau belum dipanggil tapi sudah menghadap?”. Temanku bingung, dan menjawab, “entahlah…”.. Chatting berakhir tanpa kesimpulan.

Aku jadi ingat seorang di FB — , yang suatu ketika membuat statement, bahwa kematian seseorang itu akibat pekerjaan si Malaikat Pencabut Nyawa. Aku bertanya, “Ada berapa malaikat pencabut nyawa?” Orang ini menjawab dengan menyebut satu nama malaikat. Kemudian aku lanjutkan diskusi itu dengan pertanyaan, “wah… kalau gitu malaikat pencabut nyawa itu super sibuk ya…, khan tiap hari di dunia ini ada banyak sekali orang mati.”. Merasa terganggu dengan pertanyaanku, orang ini mengancamku, “lihat apa yang akan terjadi”. Aku tidak takut pada santet, tenung dan sebagainya, cuma was-was juga kalau dia mengirim sesuatu yang gaib kepadaku. Nampaknya memang demikian, karena hari berikutnya ada yang aneh yang terjadi pada anakku. Aku terpaksa membawa anakku ke dokter, karena timbul bercak-bercak hitam di kakinya. Anakku tak mau jalan, karena kesakitan. Dokter menyarankan periksa darah dan sebagainya, dan dari hasil laboratorium semua baik-baik saja. Tanpa memberitahu istriku yang bingung dengan ‘sakit’nya anakku, aku ‘bilang’ pada Tuhanku, “Bapa, OK saya terima jika Engkau mengijinkan ini terjadi, tapi aku mohon, selesaikan ini, aku paham jika Engkau mengijinkan ini terjadi, agar aku makin mengerti”; selanjutnya anakku sembuh. Kini jelas, aku lebih waspada terhadap ancaman-ancaman semacam itu.

Beberapa kali aku pernah menyaksikan “pekerjaan gaib”, itu yang membuatku tidak terlalu panik jika menyaksikan hal-hal aneh terjadi, walau aku tidak mengerti bagaimana sesungguhnya penjelasan untuk semua hal yang aneh itu. Aku hanya bisa menduga-duga, dan dengan keyakinanku dan pemahamanku soal Tuhan dan setan, aku tidak merasa begitu terganggu dengan hal-hal semacam itu.

Kembali ke hal kematian, ketika dulu seorang temanku mengabarkan kepadaku bahwa ada temanku yang lain akan bunuh diri, karena kekecewaannya, dan meminta aku menemuinya, menghiburnya atau menyampaikan sesuatu kepadanya, aku hanya bilang, “kalau dia mati karena bunuh diri, itu bukan tanggungjawabku, jadi jangan memaksa aku untuk terlibat dengan masalahnya, aku tidak akan menemuinya, karena sebelumnya aku sudah banyak berbicara kepada dia., kalau dia mau bunuh diri, itu pilihannya sendiri, silakan saja.”. Oh ya, seorang temanku yang pernah mengumpulkan berita-berita bunuh diri dari koran, karena kecewa kisah cintanya yang ‘tragis’, menyampaikan kepadaku via SMS kalau sudah tidak kuat menanggung “derita” akibat cintanya, saat itu aku sedang di luar Jawa. Aku balas SMS itu, kalau mau bunuh diri, tunggu aku pulang ke Salatiga. Minggu berikutnya, pagi hari aku sampai di Salatiga, malam hari teman ini datang ke rumah, menyampaikan deritanya. Aku bilang, “kalau mau bunuh diri, jangan di Salatiga, nanti teman-teman di sini yang repot.” (teman ini bukan orang asli Salatiga). Malam itu aku “menasihati”nya, masa hanya karena urusan cinta, trus putus harapan, masih banyak perempuan yang bisa dicintai dan bisa mencintai. Sekarang teman ini sudah menikah dengan perempuan lain.

Ya, aku memang tidak terlalu “peduli” dengan kematian, sudah beberapa kematian aku saksikan. Kematian bukan hal yang asing buatku. Ketika seorang kerabat mengadakan hajatan pada suatu ketika, berbekal pengetahuanku soal hitung-hitungan hari baik/tidak baik, –sekarang aku sudah tidak begitu peduli dengan hitung-hitungan hari baik/tidak baik–, aku menyampaikan ke seseorang, bahwa hari hajatan itu jatuh pada hitungan “mati”. Ketika tak sampai setahun kemudian, orang yang punya hajat itu benar-benar mati, aku tersenyum ‘kecut’, dan saudaraku bilang ke aku, “bener yang kamu katakan dulu.”. Hahaha…. orang (mau) mati ternyata bisa diramalkan. Modal belajar hitung-hitungan menurut primbon saja, tak perlu kemampuan supranatural. Tak perlu puasa dan mantra-mantra, cukup kalkulator saja.

Jadi, bagiku, belasan orang mati di Salatiga karena minum minuman keras oplosan, itu adalah konsekuensi dari pilihan “mabuk”. Sekalipun mungkin kata “mati” tak pernah terlintas sebagai kemungkinan akibat minum minuman oplosan itu, tetapi itu menjadi tidak aneh, ketika kita tahu apa yang dioplos dalam minuman “keras” itu. Mestinya orang-orang tahu, bahwa alkohol yang boleh dan aman diminum adalah alkohol yang bukan jenis METANOL. (hehe… aku tahu ini beberapa tahun yang lalu dari adikku yang kuliah di teknik kimia). Kalau minuman dioplos dengan spiritus, itu sama saja dicampur METANOL, jelas berbahaya.

Oh ya… laptopku rusak keyboardnya hingga sekarang, juga karena tertumpah METANOL 90%, yang aku sediakan untuk membersihkan beberapa perabot di rumah. Ketika itu, metanol dalam wadah aku letakkan di meja belajarku, karena memang baru saja aku gunakan untuk membersihkan sesuatu, ketika aku tinggal makan siang, dengan laptop masih ‘menyala’, anakku si DEVI, naik meja, membuka tabung metanol itu tepat diatas laptop yang ‘menyala’. Selesai makan, aku melihat keyboard laptop penuh cairan, dan wadah metanol sudah kosong. Tidak pernah terpikirkan olehku sebelumnya, laptopku akan dirusakkan oleh anakku. Aku tidak marah pada anakku, tidak juga marah pada diriku sendiri, hanya berpikir, kapan punya uang untuk membeli laptop lagi. Aku jadi ingat ayat Kitab Suci: Tetapi seperti ada tertulis: “Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia: semua yang disediakan Tuhan untuk mereka yang mengasihi Dia.” I Korintus 2:9 . Hahaha… aku mendapat pelajaran (mahal) agar aku lebih hati-hati menaruh barang-barang berbahaya. — ayat Kitab Suci khan bisa kita pakai untuk pembenaran, hahaha…. sesuai dengan kehendak kita, selalu ada ayat yang cocok, kalau nggak cocok, ya dicocok-cocokkan.

Bagiku orang mengoplos minuman itu memang aneh. Apakah minuman ‘standard’ masih kurang? Sejak aku tahu bahaya minum alkohol, aku sangat berhati-hati memilih minuman. Dulu, di mobil aku sering bawa sebotol kecil anggur sisa perjamuan dari gereja, karena kadang aku minum biar tenggorokan terasa hangat. Sekarang di mobilku hanya ada AQUA, atau paling-paling aku beli YOU-C1000. Coca-cola-pun aku sangat jarang meminumnya. Aku memilih minum coklat panas, daripada alkohol yang bikin ‘panas’. Aku sudah pernah merasakan mabuk minuman keras, rasanya nggak enak sama sekali. Kepala pusing, perut panas, kalau berjalan terasa kaki melayang dari lantai, itu yang aku rasakan. Belum banyak minuman yang aku coba, dulu hanya pernah mencoba bir dan whiski merek Topi Miring atau Mansion House. Itupun bukan hasil membeli, tapi hasil meminta dari seorang teman, yang mendapatkan miras gratis hasil sitaan dari warung-warung penjualnya. (itulah untungnya berteman dengan “pihak yang berwajib”, hahaha….). Waktu itu jika habis operasi aku diberi tahu, dan diberi beberapa botol. Aku coba meminumnya masing-masing jenis, sampai mabuk. Aku minum di kamar, seorang diri, mabuk sendiri, pusing sendiri, dan akhirnya aku buang sendiri sisa-sisa minuman yang tidak habis. Cukup bagiku pernah merasakan mabuk.

Aku juga pernah mabuk karena terlalu banyak makan buah kelengkeng (lengkeng). Karena pernah mendengar cerita, katanya kelengkeng bisa memabukkan, suatu kali aku sengaja makan buah kelengkeng dan baru berhenti setelah mulai panas perutku dan pusing kepalaku. Kebetulan dulu ada beberapa puluh pohon kelengkeng di kebun orang tuaku, jadi aku bebas makan kelengkeng sampai mabuk. Mabuk kelengkeng juga tidak enak. Oh ya, terakhir aku mabuk durian, kepala pusing, terasa berat, denyut jantung terasa lebih cepat. Jadi sekarang, kalau ada yang menawari durian, oo… terima kasih, aku memilih tidak memakannya. Aku pilih buah yang lain saja, syukur ada buah dada, hahaha….

Tadi aku berbincang dengan beberapa teman, katanya orang mengoplos minuman itu memang aneh-aneh. Mencampur miras dengan spiritus itu sudah biasa, katanya ada yang lebih “aneh”, yaitu mencampur miras dengan AUTAN (obat anti nyamuk), katanya biar rasanya seperti MARTINI, tentu bukan MARTINI si gadis desa sebelah. Ada yang mencampur miras dengan KAPUR BARUS, bahkan katanya juga ada yang mencampurnya dengan BAYCLIN. Anehnya, lha wong minuman seperti itu kok ya mau-maunya membeli. Aku, dibayar-pun tak akan mau meminum minuman semacam itu. (tapi ya siapa yang mau bayar aku hanya untuk minum, hehehe..)

Bukan aku tidak menaruh simpati pada korban-korban miras di Salatiga, tapi hidup ini hanya soal PILIHAN dan KONSEKUENSI, ketika MEMILIH meminum miras oplosan dan ber-KONSEKUENSI mati, ya itulah jalan yang dipilih para korban itu. Jadikan saja itu sebagai pelajaran, untuk BERTOBAT tidak lagi minum minuman keras, atau sebagai pelajaran, kalau mau BUNUH DIRI, daripada minum BAYGON atau DIAZINON yang rasanya sama sekali tidak enak, atau GANTUNG DIRI yang menyakitkan, minum saja METANOL.

Sayang memang, kematian datang dengan cara seperti itu, tapi itu semua sudah terjadi, kalaupun disesali sudah terlambat. (ya memang…, mana ada penyesalan ada di depan?). Ada pepatah, keledai tidak akan terantuk pada batu yang sama untuk kedua kali. Manusia bukan keledai, jadi meskipun sudah sering mendengar berita jatuhnya korban miras oplosan, masih akan terus berjatuhan korban lagi, jadi tinggal kita tunggu berita selanjutnya, dimana dan siapa lagi yang jadi berita. Mungkin bukan dalam waktu dekat, tapi aku yakin beberapa tahun lagi, ketika sudah banyak yang LUPA, akan timbul korban lagi. Ya, minum atau tidak, itu adalah PILIHAN. Sama halnya ketika mendengar berita kematian, kita mau SEDIH atau TIDAK SEDIH, itu juga pilihan kita.

Seperti kata seorang filsuf (wah.. aku lupa siapa ya…ada di buku “Sejarah Filsafat” entah di halaman berapa, aku lupa), intinya, bukan keadaan yang membuat kita bersedih atau bergembira, tetapi RESPONS kita atas keadaan itu. Sehingga, bukan tulisan ini yang membuat anda akan berpikir sesuatu, (entah tentang aku, entah tentang miras, entah tentang metanol, entah tentang kematian, entah tentang bunuh diri, entah tentang orang-orang yang anda kenal), tetapi RESPONS anda setelah membaca tulisan ini, dan itu adalah PILIHAN anda sendiri. Silakan mabuk kalau anda memang memilih mabuk. Silakan mati, kalau mau memilih mati.