Senyum (mu) itu …

Tadi, ketika menghadiri acara “Sarasehan Keluarga”, sambil mendengarkan Pak Pendeta berceramah soal keluarga, aku membuka Facebook di handphone; aku baca status seorang  friend, ‎”Dapatkah … aku tersenyum lagi tanpa beban … ???”, aku berkomentar, “Bisa lah…., Just a simple smile.”.  Selanjutnya muncul ide untuk menulis note tentang SENYUM ini.

Yang paling aku ingat tentang senyum adalah kata-kata berikut ini:

—– cinta datang dengan senyuman,
—– tumbuh dengan ciuman,
—– berakhir dengan air mata.

Tanggal 30 Oktober 2011, hari Minggu yang lalu, seorang teman memposting tulisan di sebuah grup diskusi, “Senyuman adalah garis lengkung yg mampu meluruskan banyak perkara, demikian khotbah Ibu Pendeta di Kebaktian tadi pagi”, langsung ku komentari, “A smile is a curve that sets everything straight.  (Phyllis Diller)”.  Ibu pendeta itu sebenarnya mengutip quote-nya Phyllis Diller, yang kebetulan pernah aku baca.

Ada beberapa quote tentang senyum yang pernah kubaca, namun satu yang  juga aku ingat adalah, “I’ve never seen a smiling face that was not beautiful.  (Author Unknown).  Quote ini mengingatkanku pada seorang teman sekolah,  bertahun-tahun yang lalu, yang pernah sempat aku jatuh cintai, karena terseyum padaku, ketika secara tak sengaja kami bertemu di sebuah jalan. Aku juga ingat, pada beberapa orang yang tersenyum ‘manis’, ketika kami saling bertatap mata. Ah…, itu hanya nostalgia dari sebuah perjumpaan.   Aku selalu ingat, senyuman  tersipu malu, ketika aku tatap wajah manis seorang perempuan.

Yang aku ingat tentang senyum, juga sebuah ajian pelet (pengasihan) di Jawa, bernama Semar Mesem (Semar Tersenyum), dengan mantra, “Ingsun amatak ajiku si semar mesem , mut-mutanku inten , cahyane manjing ana pilinganku kiwa tengen , sing nyawang kegiwang , apa maneh yen sing nyawang kang tumancep kumanthil ing telenging sanubariku….” dst.  hihihi.   Ketika aku pasang sticker gambar Semar di kaca belakang mobil-pun (aku suka dengan tokoh Semar), aku iseng menambahkan simbol wajah orang tersenyum untuk menutup ‘bokong‘ semar itu, dan…, jadilah “semar mesem”,hahaha… (tapi rupanya tidak banyak yang memperhatikan sticker itu, apalagi tepat di bawah sticker semar  ‘mesem’ itu, ada sticker bertuliskan KOMPAS’S  Komunitas Pria Sejati – Solo.

Ada beberapa penyebab seseorang tersenyum (bukan TERSENYUM – Tertib, Elok, Rapi, SEhat, NYaman Untuk Masyarakat -nya Boyolali, atau bersenyum? (bukan BERSENYUM –  BERsih SEhat NYaman Untuk Masyarakat) -nya Temanggung.   OK, kita sudah biasa menggunakan istilah “tersenyum” bukan “bersenyum”,  sama halnya kita biasa menggunakan kata tertawa, bukan bertawa.

Paling banyak, orang bermimik muka tersenyum, karena hatinya sedang riang, merasa senang menyaksikan atau merasakan suatu hal, senyum akan menjadi penghias bibir.  Ada senyum ‘simpul’, yang sekedarnya saja, ada seyum yang ‘lebar’. Ada senyum ‘kecut’ karena gemas pada sesuatu.  Ada senyum karena menikmati suatu kelucuan, ada senyum karena tersipu malu. (sama halnya dengan tawa, ada tawa karena senang, ada tawa penghinaan, ada tawa karena lucu).  Sama-sama tersenyum, tetapi mengandung arti yang berbeda-beda.  Ada senyum yang mudah dikenali maknanya, ada yang sulit dimengerti.  Ada senyum yang biasa saja, ada senyum yang menggoda, ada senyum yang punya makna mendalam.  Mungkin kita bisa mengenali dan merasakan makna dari bermacam-macam senyum yang kita jumpai, terutama dari orang-orang yang sengaja tersenyum untuk kita.  Demikian juga, senyuman kita, bisa dimengerti oleh orang yang kepadanya kita sengaja tersenyum, ketika berjumpa dengannya.

Salah satu senyum yang tak akan aku lupakan, adalah senyum anakku yang pertama, Icha, ketika pertama kali aku melihatnya di ruang bayi di rumah bersalin. Ketika ku tatap wajahnya, bayi mungil yang belum genap berusia satu jam sejak kelahirannya itu, tersenyum padaku.  Itu sebuah senyum yang entah bermakna apa, karena aku tidak mengerti apa yang dirasakan seorang bayi yang baru lahir.  Ingatanku ke masa kanak-kanakku, tidak sampai ketika aku masih bayi, jadi aku tidak mampu untuk mencoba mengerti apa yang dirasakan seorang bayi yang baru lahir.

Di Kitab Suci, hanya ada satu kata “tersenyum”  yang dapat aku jumpai, yaitu di Kitab Ayub, sebuah kitab yang mengisahkan penderitaan dan kesetiaan Ayub.  Aku tersenyum kepada mereka, ketika mereka putus asa, dan seri mukaku tidak dapat disuramkan mereka. (Ayub  29:24).  Ayub yang tetap tersenyum menghadapi penderitaan beratnya.

Senyum di bibir,  memang tidak selalu selaras dengan rasa di hati.  Banyak senyum yang terpaksa, untuk berpura-pura tabah dan tegar, untuk berpura-pura gembira, untuk berpura-pura tidak kecewa.  Pada lagu “Biarkan dia pergi”-nya Betharia Sonata, ada kata-kata yang ku ingat, “biarkanlah walau bahagia berpaling darimu….., tersenyumlah walau sakit rasa hatimu…”.   Entah pura-pura atau tulus, bagaimanapun tersenyum jauh lebih baik daripada cemberut apalagi bersungut-sungut. Bahkan sungut-sungut itu hal yang dilarang oleh Yeshua (Yohanes 6:23 “….. Jangan kamu bersungut-sungut” ).

Tersenyumlah, sebab senyuman itu laksana sebuah cahaya di jendela wajahmu, yang menyatakan bahwa kamu ada di rumah. “A smile is the light in the window of your face that tells people you’re at home.”  (Author Unknown)

Ah sudahlah… mari kita tersenyum 🙂 🙂 🙂  bahkan, mari kita tertawa :)) :)) :)), tapi tidak perlu sampaingakak guling-guling =)) =)) =)).

Jika senyummu sirna, aku jadi ingat lagu “Sekedar Bertanya”-nya Mia MS:

hasrat hati hanya sekedar bertanya
mengapa wajahmu selalu berbeda
sehingga lenyap keindahan ku rasa
aduhai apakah gerangan sebabnya

wajahmu dulu berseri-seri, senyummu dulu manis sekali
pandangan matamu bercahaya tetapi kini jauh berbeda
……
……

Salatiga, 13 November 2011

RT Wijayantodipuro

🙂

Leave a comment