Seberapa baik Cultural Quotient kita?

Seberapa baik Cultural Quotient kita?

 

Wikipedia menyebutkan: Cultural Intelligence, cultural quotient or CQ, is a theory within management and organisational psychology, positing that understanding the impact of an individual’s cultural background on their behaviour is essential for effective business, and measuring an individual’s ability to engage successfully in any environment or social setting.  Kemudian disebutkan juga bahwa Cultural intelligence is a particular concern for expatriates in foreign environments where not knowing what to expect and the differences that can be encountered upon arrival and in the early stages of settling in can often result in culture-shock – the disorientation felt by a person subjected to an unfamiliar way of life.

Dari Wikipedia tersebut, tampak jelas bahwa fokus  perhatian CQ adalah pada bidang bisnis (perusahaan).  Tidak perlu diragukan lagi, bahwa CQ sangat diperlukan dalam bidang bisnis, karenastake holder sebuah perusahaan (apalagi perusahaan multinasional),  adalah orang atau  masyarakat dengan berbagai latar belakang budaya, sehingga (pegawai) perusahaan perlu memahami budaya dimana perusahaan beroperasi, dan budaya kliennya.  Pada perusahaan multinasional, upaya memahami budaya setempat dapat dilakukan dengan training budaya, yang sering disebut sebagai “cross-cultural diversity training”.  Persoalannya sejauh mana/sedetail apa aspek-aspek budaya di-training-kan kepada para pegawai perusahaan.

 

Selain bidang bisnis (perusahaan), konsep CQ dapat juga diterapkan dalam bidang sosial kemasyarakatan. Ketika kita berinteraksi dengan orang lain yang berlatarbelakang budaya yang berbeda dengan kita, sampai tingkat tertentu, seringkali kita perlu memahami budayanya (budaya mereka), sebab bila tidak/kurang paham, bisa terjadi shock culture/ kejutan budaya, sebuah perasaan ‘kaget’ terhadap budaya yang berbeda dengan budaya kita sendiri.  Orang Jawa, misalnya memiliki petuah, “aja kagetan, aja gumunan” (jangan suka kaget, jangan suka heran), jelas orang tidak akankaget dan gumun, ketika memahami apa yang dihadapinya.  Maka dari itu, belajar sesuatu yang ‘asing’ seringkali diperlukan.  Sudah tentu akan lebih baik, sebelum mempelajari (budaya) yang asing, budaya sendiri terlebih dahulu dipahami dengan baik.

 

Sebagai contoh, bagi para mahasiswa, (atau siswa sekolah), kegiatan ekstrakurikuler “live in” di desa, merupakan upaya untuk meningkatkan pemahaman, dan pengalaman ‘budaya’ (budaya masyarakat pedesaan).  Persoalannya juga sama dengan  cross cultural training di perusahaan, sejauh mana aspek budaya dapat  diperoleh/dipahami dari kegiatan live in yang hanya beberapa hari itu. Live in bagi siswa/mahasiswa hampir sama dengan on the job training pada perusahaan, belajar sesuatu secara langsung dengan mengalami/menjalaninya.

 

Filosofi dibalik budaya yang tampak.

Budaya seringkali dipahami hanya dari hal-hal yang tampak jelas, semacam kesenian (pagelaran seni budaya), atau produk-produk budaya, misalnya kerajinan tangan, atau produk-produk khas daerah tertentu.  Aspek budaya yang lebih sulit dipahami adalah soal “nilai-nilai” yang terkandung dari tampilan-tampilan budaya.  Untuk memahami aspek nilai, tentu diperlukan belajar yang lebih intensif, kepada mereka yang paham tentang nilai-nilai/makna dari tampilan-tampilan budaya.

 

Tidak terlalu sulit meniru budaya yang tampak, tetapi filosofi dari yang tampak itu kadang terabaikan, karena kadangkala memang sulit menangkap “yang ada di dalam” dari penampilan-penampilan budaya. Sebagai contoh, dalam acara peringatan, atau acara peresmian, seringkali (khususnya di Jawa), ada nasi tumpeng beserta lauk-pauk (jajan pasar).  Apakah penyelenggara acara memahami filosofi dari nasi tumpeng, yang berbentuk gunungan dan jajan pasar?  Untuk dapat memahaminya, perlu mengetahui asal-muasal “sejarah” nasi tumpeng dan jajan pasar itu, tentu ini tidak bisa dilepaskan dari pandangan hidup orang Jawa, pandangannya terhadap Tuhan (yang ilahi) dan alam semesta.

 

Kesulitan memahami filosofi dari tampilan budaya, hampir sama dengan kesulitan dalam benchmarkingbagi perusahaan/organisasi. Benchmarking melihat apa yang tampak, atau kinerja perusahaan/organisasi dimana benchmarking dilakukan, tetapi mengapa kinerja itu terjadi demikian, kadang diperlukan pembicaraan-pembicaraan intensif (atau bahkan kadang perlu bincang-boncang informal, untuk menggali informasi yang lebih mendalam.

 

Jika orang memahami filosofi dari tampilan-tampilan budaya, kalaupun kemudian ada keinginan meniru budaya tertentu, tentu tidak asal meniru.  Contoh paling nyata dalam peniruan budaya asing, adalah peniruan tatacara dan ritual-ritual pada agama-agama besar (Islam dan Kristen).  Agama Islam yang dari Arab, Kristen yang dari Israel (dan yang masuk ke Indonesia, sudah dipengaruhi budaya Yunani dan kemudian Eropa), namun di sini (Indonesia), yang “asing dan impor” itu banyak diterapkan “mentah-mentah” , akibatnya, terjadi banyak benturan budaya agama (impor) itu dengan budaya lokal.  Kejadian-kejadian benturan budaya, dimana budaya lokal/setempat dianggap tidak cocok dengan budaya (agama) impor itu, sudah sering terjadi di masyarakat. Dominasi kekuatan agama, pada banyak kasus, telah menggeser bahkan menyingkirkan budaya lokal.  Padahal, jika pemahaman terhadap yang lokal dan yang asing (impor) itu memadai, kemungkinan besar akan ada titik-titik temu budaya, sehingga bukan saling meniadakan, namun saling melengkapi.

 

Budaya ‘agama’ adalah contoh konkrit yang paling banyak menimbulkan masalah di masyarakat, karena sering berbenturan dengan budaya yang berbeda, selain masih banyak juga contoh benturan-benturan budaya yang terjadi karena kurangnya pemahaman akan budaya “orang lain”.  Termasuk juga bidang hukum, dimana ada hukum-hukum adat yang perlu dipahami  (dan dihormati), yang harus berhadapan dengan hukum negara. Jadi, cakupan CQ sebenarnya luas, bukan sekedar soal pagelaran kesenian dan pertunjukan kebudayaan, sebab budaya menyangkut banyak aspek kehidupan masyarakat.  Bukankah semua aktivitas masyarakat adalah budaya?

 

 

Kuncinya: mencari informasi dan bertanya.

Satu kelemahan kebanyakan orang, ketika tidak memahami sesuatu adalah tidak mau mencari tahu, tetapi cukup puas dengan ketidaktahuannya, apalagi kemudian menganggap “tidak penting untuk tahu”, atau “tidak perlu tahu”, atau (lebih parah) “tidak mau tahu”.  Ketika orang lain (masyarakat lain) melakukan sesuatu yang asing/aneh, pikiran yang kadang timbul adalah “ itu khan urusan mereka”, bukannya bertanya, “mengapa mereka melakukan itu?”.  Pertanyan “mengapa”, akan menuntun kepada pemahaman yang filosofis/mendalam, karena memungkinkan timbulnya jawaban yang panjang lebar.

 

 

Contoh, ketika menyaksikan sekelompok orang yang  melarung sesaji di lautan, bukankah kalau kita mau memahami budaya itu, maka perlu pertanyaan, “mengapa mereka melakukan itu?”.  Ketika orang Jepang dikenal sangat tepat waktu, bukankah perlu pertanyaan lebih lanjut, “Mengapa orang jepang sangat tepat waktu?”.  Itu kalau kita mau memahami filosofinya, bukan sekedar melihat/mengetahui apa yang tampak.

 

Kadang tidak mudah mencari tahu ‘alasan’ atau filosofi dibalik apa yang tampak, tetapi jika kita mau meningkatkan CQ, meningkatkan pemahaman kita akan suatu budaya, diperlukan upaya ekstra untuk mempelajarinya.  Selain membaca berbagai informasi yang bisa diperoleh melalui literatur-literatur, kadang kala berbincang dengan “tokoh masyarakat”, diperlukan untuk memahami budaya masyarakat tertentu. Kemajuan teknologi informasi, sudah tentu sangat membantu kita untuk mencari informasi tentang budaya-budaya tertentu.  Di era informasi dewasa ini, data dan informasi tentang sesuatu, kadang mudah diperoleh dari internet, sehingga ketika kita mau meluangkan waktu untuk browsinginformasi tentang budaya tertentu, seringkali kita mendapatkan penjelasan yang sangat baik tentang budaya tertentu, yang sebelumnya tidak kita pahami. Jika masih belum “mantap”, upaya-upaya lain dapat dilakukan lebih lanjut, misalnya berteman dengan orang yang paham budaya tertentu, atau mengunjungi tempat tertentu, untuk mengalami/merasakan sendiri budaya tertentu itu.

 

Peningkatan CQ, akan berdampak pada peningkatan toleransi terhadap orang lain yang memiliki budaya berbeda.  Tidak sekedar toleransi “menghargai perbedaan”, tetapi lebih dari itu, yaitu “memahami perbedaan”.  Untuk urusan bisnis/usaha, pemahaman terhadap budaya lain, akan mempermudah upaya untuk memuaskan konsumen, karena latar belakang budaya konsumen diketahui dengan baik.  Jika dalam strategi perang, memahami karakter lawan itu akan mempermudah untuk menghancurkannya, maka memahami budaya orang/masyarakat yang berinteraksi dengan (bisnis) kita, akan memudahkan komunikasi dan selanjutnya transaksi.  Lantas, sudah seberapa baik CQ kita?  Sudah pahamkah kita terhadap budaya yang ada di sekitar kita, yaitu budaya kita sendiri dan budaya orang-orang/masyarakat yang berinteraksi dengan kita?

from: http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150113927488551

Leave a comment