Laron itu Anai-anai

Aku bertanya, “Icha, laron itu nama lainnya apa?”.  Icha tidak bisa menjawabnya, dan kemudian aku beritahu, “anai-anai“.  Aku bertanya kepadanya, sambil menikmati laron goreng, hasil “berburu” di dekat kamar mandi di luar rumah.  Sarangnya berada di depan kamar mandi, dan karena tanah basah, mereka keluar dari sarang yang lembab, kemudian terbang mengerumuni lampu yang menyala di sudut kamar mandi itu.

Ketika aku melihat mereka mulai berhamburan keluar dari sarangnya dan mengerubuti lampu di sudut kamar mandi, aku mengambil kabel berfiting lampu, sebuah lampu ‘tornado’ dan sebuah ember untuk menjebak  mereka.  Lampu sudut kamar mandi aku matikan, dan aku nyalakan lampu  di dalam ember.  Mereka masuk ke ember, makin lama makin banyak.  Aku undang anak-anak untuk menyaksikan anai-anai itu, aku tunjukkan juga kepada mereka lubang sarangnya, beserta para rayap yang ikut meramaikan suasana di ‘bibir’ sarang.

Beberapa ekor cicak dan satu tokek di dinding kamar mandi ikut menikmati kehadiran anai-anai itu.  Anai-anai menjadi menu makan malam mereka. Aku mengumpulkan laron-laron ke dalam ember, sambil mengayaknya agar sayap-sayapnya terlepas.  (Kali ini sayap-sayapnya agak sulit terlepas, mungkin karena para laron itu masih ‘muda’, atau memang dari jenis yang sayapnya tidak mudah lepas — aku tahu  ada 2 jenis laron yang sering dijumpai. “Laron kuning” badannya lebih besar, sayapnya lebih mudah tanggal, dan “laron papah“, badannya lebih kecil, sayap lebih sulit lepas, dan lebih berbau daripada laron kuning.)  Aku mengambil kipas angin besar, untuk menerbangkan sayap-sayap yang sudah terlepas dari badan para laron, dan tinggallah ribuan laron tanpa sayap di dalam ember.  Selanjutnya dari ember, mereka ku pindahkan ke wajan di atas kompor menyala. Mungkin sudah takdir, laron-laron itu mati di wajan penggorengan.  Icha mencoba menyantap beberapa ekor, langsung  timbul bentol-bentol di wajahnya.

Bagiku, bukan hal yang luar biasa memakan laron. Kepompong ulat jati dan belalang dari Gunung Kidul-pun aku bisa menikmatinya. Aku pernah memakan beberapa jenis burung, hasil berburu dengan senapan angin.  Tupai, tokek, cicak, bahkan tikus sawah hasil berburu, ketika hama tikus menyerang sawah, aku pernah memakannya.  Daging rusa, landak, codot, bahkan daging kera, aku juga pernah memakannya.  Aku tidak punya makanan favorit (tapi suka makan ikan), asal orang lain bisa memakannya, akupun mungkin bisa memakannya, asalkan aku pikir tidak berbahaya untuk kesehatan tubuh.

Sebenarnya sudah lama aku tidak lagi makan laron.  Dulu waktu masih kanak-kanak, dengan cara  sederhana  aku bersama-sama teman-teman sebaya, seringkali kami  “menjebak” laron yang sedang keluar dari sarangnya di awal musim hujan. Dulu, ‘acara’ itu mengasyikkan, karena kadang kami berlomba dengan teman-teman, siapa yang bisa mengumpulkan laron lebih banyak.  Dulu kami menggunakan pelepah pisang untuk “jalan” laron, dan menggunakan daun pisang untuk menampung laron-laron yang terjebak.  Kami  membuat lobang di tanah, untuk menempatkan wadah dari daun pisang  itu. Jika bukan dengan daun pisang, kami menggunakan plastik kantong.  Laron yang terkumpul, kemudian diayak, dibersihkan sayapnya, digoreng dan dinikmati sebagai lauk.

Laron bisa dinikmati sebagai laron goreng, bisa dicampurkan dalam ‘bothok’, bisa juga dicampur adonan gandum dan digoreng menjadi rempeyek laron.  Di pasar-pun kalau sedang musim laron, selalu ada penjual laron goreng.  Itu dulu.   Sekarang jaman sudah berubah, sudah terlalu banyak jenis makanan, sehingga laron tidak lagi diperhitungkan.

Aku ‘akrab’ dengan laron sejak masih kanak-kanak, aku bisa makan laron hidup, dan kadang laron itu sempat menggigit lidah sebelum mati terkunyah.  Jika tidak mau lidah tergigit, maka laron itu dimatikan dulu dengan dipencet kepalanya.  Bahkan aku pernah menelan mentah “ratu laron”, kira-kira sebesar ibu jari.  Kebetulan ‘ratu’ itu kami temukan di kebun, ketika ayahku memperbaiki (meluruskan) terasering kebun yang baru saja dibeli.

Sebelum aku membaca beberapa literatur tentang laron, melalui pengamatan langsung ketika masih kanak-kanak, aku sudah mengerti, jika dalam sebuah koloni laron, ada ratu laron yang tugasnya bertelur menghasilkan rayap dan laron.  Ada raja laron sebagai ‘pejantan’ yang tubuhnya lebih kecil daripada ratu laron. Ada  dua jenis rayap, yaitu rayap biasa  (yang kemudian aku tahu, disebut rayap pekerja), dan “gonteng” rayap yang kepalanya besar, capitnya kuat (yang kemudian aku tahu, disebut rayap prajurit). Ratu dan raja laron berasal dari laron yang berhasil selamat, masuk kembali ke lobang di tanah setelah sayap-sayapnya tanggal, dan mampu bertahan hidup, setelah laron-laron itu keluar dari sarang di koloni terdahulu.

Ketika melihat mereka di wajan gorengan, aku berpikir, ada puluhan ribu ‘nyawa’ menjadi korbanku malam itu.  Mereka tumbuh di dalam tanah, kemudian keluar di musim hujan, menghampiri lampu dan mati dengan berbagai cara.  Hanya sangat sedikit yang mampu bertahan dan kemudian membentuk koloni baru.  Itulah takdir mereka, jika takdir itu ada.  Jangan-jangan kita seperti laron, hanya dalam ukuran tubuh yang lebih besar dan jangka waktu hidup yang lebih lama.  Jika mereka hanya bertubuh kecil dan bersayap, kita manusia jauh lebih besar dan bertangan.  Jika mereka hidup semusim, kita bisa puluhan tahun.  Tetapi kisahnya hampir sama, lahir, menjalani hidup dan kemudian mati.

Laron-laron begitu kecil di mata kita manusia, seperti halnya nyamuk dan semut yang mudah kita binasakan dengan berbagai cara.  Dibandingkan dengan alam semesta yang begitu luas, manusia yang tinggal di bumi, ya hanya “sangat kecil”.  Dibandingkan dengan usia bumi yang konon sudah jutaan tahun, masa hidup manusia yang hanya puluhan tahun, juga sangat singkat.  Orang Jawa punya pepatah, “urip iku mung mampir ngombe” (hidup itu hanya mampir minum).  Hidup ini singkat. (Kematian: hanya soal waktu dan cara)

Aku tidak tahu, apakah para laron itu punya kesadaran tentang Tuhan, tentang surga dan neraka, atau mereka tanpa tahu apa-apa, menjalani hidupnya sesuai takdirnya? Siapa yang menakdirkan mereka hidup di dalam tanah, keluar mencari lampu dan berakhir di wajan di atas kompor gas yang menyala?  Tuhan-kah yang menakdirkannya?  Apakah Tuhan juga mengurus rayap dan laron-laron? Padahal laron-laron itu tak beragama, tak pernah berdoa, tak pernah beribadah di rumah ibadah.  Hahaha…

Jangan-jangan, kalau hanya untuk ingin diurus oleh Tuhan, kita juga tidak perlu beragama. Jadi, untuk apa manusia beragama?  Mungkin lebih enak jadi seperti laron-laron, lahir,  menjalani hidup, dan kemudian mati sesuai takdir. Bukankah diurus oleh takdir Tuhan itu akan lebih enak? Atau kita bisa menolak takdir?

Salatiga, 10 November 2011

RT Wijayantodipuro

Leave a comment